KEPERCAYAAN DAN DAPAT DIPERCAYA DALAM HUBUNGAN PASUTRI
“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.”
(Lukas 16:10 TB)
Kepercayaan (trust) dan dapat dipercaya (trustworthy) adalah unsur penting dalam hubungan. Faktanya itu adalah “pondasi dari semua hubungan”, seperti dalam pekerjaan, pelayanan, masyarakat, dan bahkan hubungan seseorang dengan Tuhan. Kepercayaan bukanlah sesuatu yang diminta atau dipaksa, melainkan sesuatu yang diperoleh. Bagaimana memperolehnya atau kapan hal itu dapat diperoleh?
Salah satu caranya adalah dengan “menepati janji”, ketika kita menepati perkataan dengan penuh tanggung jawab, maka kita disebut orang yang bisa dipercayai. Yang lain, adalah ketika kita berlaku setia kepada Tuhan dan sesama. Ketika dengan sungguh-sungguh setia kepada sesuatu yang tidak kelihatan, maka kita setia kepada yang kelihatan. Ketika secara konsisten melakukan segala sesuatu dengan sepenuh hati, orang akan menambahkan nilai pada dirinya untuk dapat dipercaya.
Kepercayaan dibangun di atas kompetensi. Seseorang dapat disebut dapat dipercaya ketika ia membuktikan dirinya mampu melakukan tugas dan kewajibannya. Dengan kata lain, makin rendah tingkat kemampuan, semakin sulit untuk dapat dipercaya. Itu sebabnya dalam pernikahan, masing-masing pihak haruslah dengan tekun dan penuh tanggung jawab mengerjakan bagiannya. Ketidakmampuan akan melemahkan tingkat kepercayaan.
Kepercayaan juga dibangun di atas karakter. Semakin baik karakter seseorang, semakin ia dapat diandalkan. Sebaliknya, semakin buruk karakter seseorang, semakin sulit orang lain menaruh kepercayaan kepadanya. Dalam konteks suami istri, masing-masing pihak harus selalu siap untuk memperbaiki diri dan bersedia diperbaharui. Sikap selalu merasa benar dan tidak mau berubah merupakan tanda karakter bermasalah.

Di lain pihak, menurut teori perkembangan, sifat dapat dipercaya atau diandalkan dipengaruhi pada masa pertumbuhan, bagaimana ia mendapatkan perlakuan orangtua. Orangtua yang memiliki pola asuh yang selalu mengontrol, mengatur semua aktivitas anak dan tidak memberikan dukungan fasilitas yang layak, umumnya akan menumbuhkan karakter anak yang jauh dari rasa tanggung jawab, ia akan tumbuh menjadi anak yang tidak bisa diandalkan. Hal serupa juga terjadi bagi anak yang tumbuh dalam pengabaian (kurang perhatian orangtua). Mereka tidak pernah mempunyai kesempatan untuk belajar bertanggungjawab.
Pernikahan dibangun di atas dasar kepercayaan, pernikahan hancur karena ketidakpercayaan. Mengapa ada suami yang rajin ke gereja dan aktif dalam pelayanan, tetapi jatuh dalam ketidaksetiaan terhadap rumah tangganya? Apakah ia tidak sayang kepada pasangannya? Umumnya, jatuh dalam ketidaksetiaan biasanya tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada kerikil-kerikil tajam yang kadang gagal diamati. Keterpisahan aktivitas suami istri dapat menjadi salah satu pemicu “perceraian” secara emosi. Istri sibuk dengan urusan rumah tangga, sementara suami hampir setiap malam aktif di luar rumah, merupakan kondisi yang tidak sehat. Dalam perjalanan waktu, situasi demikian akan melonggarkan ikatan dan menurunkan tingkat kepercayaan.

Di ruang konseling sering ditemukan konflik rumah tangga serius, yang akar penyebabnya seperti kasus di atas. Sumber keretakan sudah ada jauh hari sebelum pernikahan. Dalam kebersamaan, mereka bukannya saling mendukung dan mengasihi, tetapi saling menuntut atau mengabaikan satu sama lain. Mereka punya kesulitan dalam menghadirkan suasana harmonis dan kehangatan dalam berelasi. Bukannya mereka pasangan yang tidak mau membangun kebahagiaan dalam kebersamaan, namun “mereka tidak mampu melakukannya”. Satu kalimat yang kedengarannya aneh, tetapi sering ditemukan realita ambigu demikian. Mereka tidak menyadari apa yang sesungguhnya menjadi biang keladi.
Bagaimana menolong pribadi yang demikian? Dalam proses konseling umumnya masalah demikian bisa ditolong, hanya perlu waktu. Pertama-tama, kita perlu memiliki Spirit of Discernment, untuk menggali akar penyebab masalah sebenarnya. Jangan terjebak hanya fokus pada pemicu-pemicu yang menimbulkan masalah hari-hari. Usahakan jemaat yang dilayani “dapat menemukan masalahnya sendiri”, karena dia yang tahu persis. Tentu saja proses pengungkapannya melalui teknik wawancara yang kita lakukan.
Usahakan untuk memberi kesadaran tentang dirinya, apa yang saat ini sedang terjadi. Dia perlu dituntun untuk sampai kepada “tahap saat ini” apa yg sedang dia alami dan apa yang diinginkan. Bimbing dia untuk mengakui dan melepaskan hal-hal buruk yang kadang tanpa disadari. Sebelum melepaskan tentu perlu pengakuan. Karena apa yang dapat dibuang, kalau ia tidak merasa pernah memilikinya? Tidak perlu menyalahkan masa lalu. Lepaskan pengampunan bagi diri sendiri maupun bagi orang lain yang terlibat di dalamnya. Terima diri apa adanya dan siap melangkah untuk melakukan perbaikan.
Bimbing dia untuk membuat daftar pemicu-pemicu yang menjadi penyebab perilaku buruk dan belajar waspada ketika harus “melewati” pemicu-pemicu tersebut. Selanjutnya mulai melatih kebiasaan dan pola pikir baru yang terkontrol, yang sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran Firman Tuhan. Usahakan untuk belajar memberikan respons positif atau perkataan-perkataan yang lebih asertif pada situasi yang dirasa kurang nyaman.
Kiranya langkah-langkah praktis di atas dapat membimbing pasutri untuk mengalami pemulihan hubungan. Tuhan menolong.
Sumber: Ps. Agus Prihardjo (Koordinator Kesehatan Mental dan Moral)