A warm virtual hello to my brothers and sisters in Christ
Anda mungkin bertanya-tanya, siapa wanita yang bernama Joy itu, yang namanya tiba-tiba muncul di layar Anda. Saya sangat berharap bahwa Anda akan meluangkan waktu sebentar untuk mendengar curahan hati saya. Ketika suatu malam, Ko Sam menelepon saya untuk meminta saya bertugas di IFGF Women, saya langsung bertanya kepadanya, “Apa sebenarnya pekerjaan saya?” Untungnya, ko Sam adalah orang yang to the point, jadi dia hanya berkata kepada saya, “Kamu akan memiliki akses ke para wanita melalui surat, tulisan, dan artikel tentang Tuhan”. Ketika saya mendengar kata “akses”, saya kaget.
Anda tahu, sepanjang hidup saya, saya tidak pernah bermimpi untuk “memimpin” sesuatu yang besar. Saya bukan orang yang terorganisir (saya beruntung menemukan sepasang kaos kaki lengkap dan masker bersih untuk anak-anak saya untuk keluar dari rumah pada hari Senin). Saya tidak pandai dalam perencanaan dan logistik. Sebagian besar hari-hari saya terkubur dalam pekerjaan, mencuci pakaian, makan, menghentikan pertengkaran konyol anak-anak saya, dan menjadi penyemangat terbesar bagi suami saya (Dia rockstar saya dan mereka segalanya bagi saya!). Namun, tidak peduli seberapa sibuknya hidup saya, sepertinya saya tidak dapat menghilangkan keinginan kuat di hati saya untuk terhubung, memiliki “akses”, dan untuk membangun persaudaraan yang tulus, “walk-through-fire-together” bersama para wanita di sekitar saya.
Dalam 38 tahun hidup saya ini, saya menyadari, bahwa saya hanya ingin menjadi saudara perempuan lebih dari apapun dalam hidup saya. Saya mendapati diri saya segera mengosongkan jadwal setiap kali ada saudara perempuan saya yang perlu berbicara di telepon, berjalan-jalan, atau sekadar minum kopi dengan saya. Merupakan salah satu kepuasan tersendiri bagi saya dalam hidup untuk dapat melihat saudara perempuan saya di dalam Kristus BERKEMBANG, menemukan gairah hidup mereka, menemukan suami yang saleh, dan menjadi ibu yang mengasihi Yesus dan berdoa bagi anak-anak mereka. Saya benar-benar ingin menjadi orang yang dapat anda percaya ketika tidak ada orang lain yang percaya. Keinginan besar saya adalah menjadi pemberi semangat, pejuang doa, dan orang pertama yang Anda panggil setiap kali Anda mengalami terobosan.
Jadi disinilah saya, muncul di kolom salah satu gambar grafis super kerennya IFGF. Meskipun saya tidak bisa duduk dengan Anda secara langsung, saya harap Anda dapat melihat tulisan saya sebagai waktu ngopi melalui layar. Saya sangat senang, dalam beberapa tahun kedepan, saya dapat berbicara tentang kehidupan kepada Anda dan berbagi perjalanan saya sendiri bersama Kristus. Saya akan berbagi yang baik, yang jelek, kisah perang, kemenangan, dan kesalahan konyol yang pernah saya lakukan. Saya sangat berharap bahwa itu dapat memberikan anda motivasi. Jangan pernah menganggap tulisan-tulisan ini sebagai jalan satu arah, karena saya hanya sejarak satu email / SMS dengan permintaan doa atau apa pun yang Anda perlukan!
Jadi izinkan saya memulai perjalanan kita dengan cerita saya.
Tahun 2021 datang seperti “truk besar” yang menabrak sisi yang saya tidak sadari. Sejujurnya saya tidak melihat truk itu datang. Saya memulai tahun ini dengan sangat jelas. Saya melanjutkan puasa IFGF dari bulan Januari sampai bulan Maret. Saya beristirahat dari media sosial selama berbulan-bulan dan saya bisa mendengar suara Tuhan terdengar seperti suara ayah saya berbicara melalui telepon. Saya tidak pernah begitu bersemangat untuk Tuhan. Saya pergi ke jalan-jalan kota dan rumah sakit setempat untuk doa keliling. Kami pergi dari pintu ke pintu untuk mengundang orang-orang datang ke kebaktian Paskah di IFGF Seattle. Saya berdoa untuk orang-orang di teras (dengan menggunakan masker dan menjaga jarak), dan saya menyaksikan salah satu sahabat saya menerima Kristus dalam salah satu kunjungan ini.
Dan kemudian pada April 2021, saya mendapat telepon yang datang entah dari mana. Saya kira itu benar ketika mereka berkata, kita hanya perlu panggilan telepon, diagnosis dokter, laporan bisnis yang buruk untuk membalikkan dunia kita. Suara bibiku di seberang telepon bergetar saat dia memberitahuku bahwa suaminya, pamanku tersayang di Oregon, hatinya pecah saat dia mencoba memakai sepatunya. Saat itu dia sedang dibawa ke rumah sakit di Portland untuk menemui dokter yang berpotensi menyelamatkan hidupnya. Saya ingat dengan jelas bahwa kami segera meninggalkan semua yang kami lakukan dan berdoa untuknya. Dia adalah paman kami yang menyenangkan. Orang yang membelikan sekantong besar Cheetos untuk anak-anakku. Orang yang selalu memiliki trik sulap untuk menghibur keponakan-keponakannya. Beberapa jam kemudian, telepon masuk lagi. Paramedis telah melakukan segala yang mereka bisa untuk menyelamatkan hidupnya tetapi tidak berhasil. Dan begitu saja, pamanku yang menyenangkan telah pergi.
Belum selesai berduka atas kepergian paman dan merencanakan upacara pemakamannya, tiba-tiba saya mendapat email dari guru putri saya. Salah satu teman sekelasnya positif COVID dan ada potensi penyebaran di clusternya. Ketika kami bertanya kepadanya, “Hei Ally, apakah kamu berada di grup teman yang sama dengan orang ini? Apakah kamu bermain dengannya saat istirahat?”, Dia menjawab dengan penuh percaya diri, “Tidak, Bu!” Fiuh! Kami semua menghela nafas lega. Dia kemudian melanjutkan, “Tapi dia duduk tepat di belakangku”. Bahuku seketika turun; bertukar pandang gugup dengan suamiku. Benar saja, kami semua dinyatakan positif dalam beberapa hari ke depan. YA! Kami berlima, termasuk anak saya yang TK itu. Beberapa hari berikutnya, kami berlima meringkuk dibawah selimut, tak bisa menghadiri upacara pemakaman paman karena kami jelas tidak bisa pergi.
Puji Tuhan, kami berlima sembuh dalam waktu yang hampir bersamaan meskipun suami saya dirawat di rumah sakit dalam waktu singkat karena Covid Pneumonia. Tuhan begitu setia dan Dia mendengar tangisan kita. Ketika kami pulih, kami semua mengambil perjamuan kudus sebagai sebuah keluarga untuk mendedikasikan kembali hidup kami kepada Tuhan. Saya pikir badai telah berlalu dan sudah waktunya untuk “kembali normal”. Tapi ternyata salah. Dalam waktu singkat, musim panas datang dan anak-anak libur sekolah. Sekitar waktu ini, kasus Covid di Jakarta meroket dan kami mendengar berita kematian silih berganti dari teman dan keluarga tersayang kami. Pada minggu terakhir bulan Juni, saya menerima pesan teks WhatsApp dari ibu saya bahwa kakek saya yang berusia 88 tahun yang saya cintai, yang paling disayangi, yang paling dekat dengan jiwa saya sakit. Keluarga saya melakukan tes covid19 sesegera mungkin dan mimpi terburuk kami menjadi kenyataan. Dia positif COVID. Ini adalah salah satu ketakutan terbesar kami karena usianya serta kondisi diabetes dan komorbidnya.
Sedikit tentang kakek. Saya dibesarkan dengan menghabiskan musim panas di halaman belakang rumah kakek dengan mengejar Bruno si anjing di Semarang . Saya masih bisa mencium wanginya sup nenek yang tengah mendidih ketika kakek membawa kami ke atapnya untuk menyaksikan matahari terbenam dan berbagi tentang hidupnya. Dia selalu punya cerita paling lucu, cerita yang membuat kami tertawa terbahak-bahak. Dia selalu membawa kami ke toko es krim lokal di Semarang dan ketika kami semua terlalu berenergi (karena kebanyakan gula), dia akan membiarkan kami melompat-lompat di tempat tidurnya hingga lelah. Dia membiarkan kami menjadi anak-anak. Dia salah satu orang favorit saya ketika tumbuh dewasa. Wajahnya yang pertama kali saya cari begitu tiba di bandara Soekarno-Hatta setiap kali pulang dari Seattle. Sampai hari ini, sebagai wanita dewasa berusia 38 tahun, kami masih saling mengirim pesan hampir setiap hari, mengirim foto dan tulisan sentimen “Aku merindukanmu”. Dia memanggil kami “sayang” dan sangat mengasihi kami semuanya.. SMS terakhirku padanya adalah, “Engkong harus tau, engkong kesayangan Joy ya. Tuhan Yesus sayang engkong. Engkong harus sembuh ya” & “Kakek, ketahuilah bahwa aku sangat mencintaimu. Yesus mencintaimu. Kamu harus segera sembuh!” Pesan itu belum dibacanya hingga hari ini. Saya masih berurai air saat saya mengetik kata-kata ini.
Selama beberapa hari kakek saya dirawat di rumah sakit, pada tanggal 4 Juli 2021, sekitar jam 7 malam, bibi menelepon saya (pada April lalu beliau juga meminta saya berdoa bagi paman saya, menelepon saya lagi untuk memberi tahu saya bahwa kali ini, putra satu-satunya dalam kondisi kritis). Sepupu saya, Justin juga terkena COVID secara tak terduga setelah menyelesaikan masalah pemakaman ayahnya di Oregon. Tubuhnya yang berusia 42 tahun tidak dapat menangani komplikasi dari virus dan bibi saya perlu melepasnya. Sepupu saya pergi bersama Yesus hari itu sekitar pukul 19.20. Dalam waktu 4 bulan, bibi saya kehilangan suami dan putranya.
Masih berusaha untuk bangkit dari semua yang telah terjadi, sekitar jam 9 malam hari itu, saya menonton “The Chosen” bersama keluarga ketika mereka mencoba menghibur saya. Kakek sudah menggunakan ventilator dan dalam kondisi sangat kritis. Terlepas dari sikap bijaksana mereka untuk menghibur saya, saya memberi tahu suami dan anak-anak saya bahwa saya harus sendirian. Saya masuk ke kamar, memadamkan semua lampu dan berbaring di lantai dengan wajah menunduk. Saya pikir seluruh lingkungan bisa mendengar saya meratap. Di sana dalam kegelapan, saya berseru kepada Yesus, “Tolong, Tuhan, jangan ambil kakek saya. Beri saya kesempatan lagi untuk menemuinya. Saya harus memeluknya sekali lagi. Bukan dia, tidak sekarang!” Di sela-sela air mata, saya melihat bayangan seorang gadis kecil memegang balon merah. Dia memegangnya begitu erat dan dia menolak untuk melepaskannya. Dan kemudian perlahan tapi jelas, saya melihat Yesus. Dia begitu bersinar dengan cinta, kelembutan, dan kebaikan. Dia berlutut di depan gadis kecil yang ternyata adalah saya. Dia berkata dengan lembut, “Joy, kamu tidak membiarkan dia pergi dengan sia-sia. Kamu membiarkan dia pergi demi Aku. Saya telah menunggunya selama 40 tahun, dan sekarang saya bisa melihatnya secara langsung. Aku punya banyak hal untuknya. Kamu akan baik-baik saja”.
Dan dengan itu, gadis kecil itu melepaskan balon merah itu.
Anehnya, saya merasakan kedamaian.
Saya tahu dalam hati saya, bahwa itu adalah hari dimana Kakek akan bersama Yesus.
Benar saja. Beberapa jam kemudian, unit ICU menelepon saya. “Saya sangat menyesal Bu, kami melakukan semua yang kami bisa. Detak jantung kakek berhenti pada pukul 13.15 waktu Jakarta”. Saya memberitahu perawat, “Saya sudah tahu”.
Teman-teman, bagian yang belum saya sebutkan adalah ini: Kami telah berdoa untuk keselamatan kakek saya selama 40 tahun terakhir! Dia adalah seorang Buddhis yang kuat, dan dia telah menjelaskan kepada kami, “Ketika suatu hari saya berada di ranjang kematian saya, JANGAN mengundang pendeta mana pun. Saya tahu kalian orang Kristen suka “memaksa” kami untuk menerima Yesus menjelang akhir hidup kami. Jangan lakukan itu!” Dia begitu yakin bahwa dia akan mati sebagai seorang Buddhis.
TAPI TUHAN.
Hanya satu minggu sebelum dia meninggal, tepat sebelum pergi ke rumah sakit, ibu saya bertanya dengan lembut apakah dia ingin menerima Yesus sebagai Tuhan dan penyelamat pribadinya. Kakek bilang iya. Dia membacakan doa orang berdosa dari A-Z. Ibu saya melihat di saat-saat terakhir hidupnya, dan kata-kata terakhirnya adalah “Yesus, tolong aku”.
Teman-teman, izinkan saya mengajukan pertanyaan jujur ini kepada Anda. Apa yang terjadi ketika tantangan kehidupan terus berdatangan hingga rasanya kehabisan napas? Apa yang terjadi ketika kita tidak melihat “truk” itu datang dari sisi yang tidak terlihat oleh kita? Laporan buruk, tes positif COVID, kematian mendadak anggota keluarga.
Saya tidak tahu apa yang harus Anda lalui atau lepaskan tahun ini; apa “balon merah” Anda? Mungkin kematian seorang teman tersayang, kerabat tercinta, atau anggota keluarga dekat. Mungkin kehilangan bisnis Anda atau pekerjaan yang sangat Anda pegang. Ini mungkin persahabatan yang telah Anda bangun selama bertahun-tahun. Mungkin kebebasan dan rutinitas Anda saat Anda anak-anak harus sekolah di rumah Anda di musim ini. Mungkin kabar buruk dari dokter atau rekan bisnis.
Apapun yang hilang dari kita tahun ini…teman-teman, ketahuilah bahwa kita tidak akan melepaskan “balon merah” kita dengan sia-sia. Yesus sudah dekat. Dia berlutut di samping rasa sakit kita. Dia selalu ada. Tanpa disadari, kita mendapatkan sesuatu yang LEBIH dalam semangat kita. Kehadiran Yesus yang nyata saat kita berada di titik terendah. Pemahaman yang mendalam tentang kasih-Nya yang tak bersyarat bagi kita. Perspektif keabadian. Pelukan hangat komunitas kita saat kita berduka. Fakta bahwa Yesus tidak pernah meninggalkan kita, bahkan semenit pun.
Saya masih belum memiliki semua jawaban atas misteri Tuhan tentang rasa sakit dan penderitaan di tahun 2021. Dan jujur saja, saya masih mencoba untuk mengambil potongan-potongan hati saya yang hancur ketika saya mencoba untuk melanjutkan perlombaan ini. Banyaknya kehilangan ini telah meninggalkan “luka” di jiwa saya.
Namun, saudara, saya tahu dua hal ini:
- Tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja. Sebagai pemimpin, orang kristen, ibu, kita diharapkan untuk selalu kuat dan tabah. Tetapi kenyataannya adalah, bahkan Yesus pun menangis. Dia kehilangan ketenangannya ketika dia kehilangan seorang teman baik. Yesus adalah orang yang penuh duka. Keringat keluar dari dahinya seperti darah ketika dia dalam kesusahan yang mendalam Yesus sepenuhnya manusia, jadi dia mengerti bagaimana perasaan kita. Dia ada di dekat kita saat kita merasa remuk dan patah hati.
- Tema tahun ini BERBICARA BEGITU KERAS di hati saya, karena ADA alasan mengapa kita masih HIDUP di planet bumi ini. Selama masih ada nafas di paru-paru kita, Tuhan belum selesai dengan kita, dan kita punya tugas untuk dikerjakan.
Saya merasa sangat nyambung / connect dengan jurnal pribadi Daud dalam Mazmur 73:21-28,
Ketika hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya, aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu.
Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku. Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan. Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.
Sebab sesungguhnya, siapa yang jauh dari pada-Mu akan binasa;
Kita mungkin tidak tahu semua jawabannya sekarang.
Kita mungkin masih merasakan gelombang kesedihan yang menyesakkan dada kita.
Kita mungkin masih bergumul dengan ketakutan dan kecemasan.
Tetapi untuk saat ini, adalah baik untuk berada di dekat-Nya.
Yesus berlutut.
Yesus menangis.
Yesus berbisik.
…dan Dia memegang kita dengan tangan kanan kita.
Itu saja yang perlu kita ketahui, dan itu sudah cukup.
Saya berdoa untuk kalian semua,
Joy (Koordinator Women Global)