Pastoral Hub
top
i

IFGF Global

PERCAKAPAN YANG MENYEMBUHKAN


“Healing conversation”, suatu keterampilan penting dalam membangkitkan penyembuhan secara emosional, mental, atau bahkan fisik. Model percakapannya merupakan komunikasi terbuka dan penuh empati sehingga lawan bicara merasa aman untuk mengungkapkan segala macam perasaan, kekhawatiran, dan pengalamannya, tanpa takut dihakimi. Percakapan yang menyembuhkan melibatkan keterampilan untuk mendengarkan secara aktif, menvalidasi emosi, menawarkan dukungan pada lawan bicara, dan mengeksplorasi solusi dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendorong.


Keterampilan ini dapat diterapkan dalam berbagai situasi, seperti sesi terapi, care group, atau saat berinteraksi dengan anggota keluarga. Dialog semacam ini biasanya bersifat mendalam dan penuh makna untuk membangun hubungan dan menfasilitasi penyembuhan serta memberikan ruang untuk pertumbuhan.


Karakteristik dari “healing conversation” antara lain bersifat warm sehingga menimbulkan suasana percakapan hangat dan menyenangkan. Di dalamnya mengandung perkataan yang suportif, yang merupakan dukungan secara moril, juga ada unsur penerimaan dari lawan bicara, jauh dari kritik dan penghakiman, serta mengandung ungkapan-ungkapan atau pertanyaan-pertanyaan yang tulus untuk menyatakan kebutuhan ataupun perasaan yang timbul.



Dalam Yohanes 4, Tuhan Yesus menunjukkkan bagaimana melakukan “healing conversation” dengan seorang perempuan Samaria. Secara alami, saat itu Tuhan Yesus merasakan dahaga dan dengan tulus Ia meminta air, “Berilah Aku minum”. Dalam jalan cerita selanjutnya tersingkap bagaimana posisi sosial seorang Samaria terhadap Yahudi. Namun dengan cara meminta bantuan kepada seorang yang merasa “tidak berharga”, Tuhan Yesus sedang mengatakan “Engkau berharga bagiku”. Strategi jitu yang dilakukan membawa kepada suatu suasana percakapan yang dalam dan menimbulkan kepercayaan dan keterbukaan.


Untuk membangkitkan kesadaran yang lebih tajam, Tuhan Yesus melanjutkan dengan pertanyaan yang sifatnya menggali, “Pergilah, panggillah suamimu dan datang ke sini”. Meski sudah tahu tentang kondisi perempuan ini, Tuhan Yesus memberikan pertanyaan yang akan memancing kesadaran yang lebih akan “kondisi hati” wanita itu. Dengan rasa kepercayaan dan kejujuran, perempuan itu dengan sukarela menyingkapkan “keberadaannya” sendiri tanpa harus ditunjuk. Singkat cerita, dengan kesadaran diri serta komitmen tinggi, perempuan itu mau melangkah untuk mengadakan perubahan pada jalan hidupnya.


“Healing conversation”, percakapan yang menyembuhkan dan memberikan ruang untuk bertumbuh dapat diterapkan dalam keluarga maupun komunitas yang lebih luas. Bagaimana dengan keluarga kita, kelompok doa kita, atau kondisi dalam jemaat? Mungkin keahlian yang bermanfaat yang satu ini luput dari perhatian kita. Betapa indah bila anggota-anggota dari kelompok komunitas kita memiliki ketrampilan seperti itu. Mereka akan memilliki hubungan yang semakin kuat serta memberikan ruang, kesempatan untuk bertumbuh secara sehat dan saling menyembuhkan.


Dalam perjalanan hidup, kadang tanpa sengaja kita bertemu dengan orang-orang yang terluka. Bahkan mungkin banyak individu-individu demikian ada di sekitar kita. Karena kita memang hidup di tengah dunia yang sedang terluka. Bahkan sadar atau tidak, sedikit atau banyak, setiap kita pernah terluka, sehingga setiap kita sebenarnya memerlukan pemulihan dan berjaga-jaga agar jiwa tetap kuat dan sehat.


Akhirnya, “healing conversation” adalah suatu keahlian yang penting untuk dimiliki dan dikembangkan dalam keluarga, maupun dalam care group atau gereja. Model percakapan seperti apa yang selama ini kita lakukan dan tumpuk serta wariskan kepada orang-orang terdekat?


Sumber: Ps. Agus Prihardjo (Koordinator Kesehatan Mental dan Moral)

Post a Comment